BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Panjang Jimat merupakan salah
satu tradisi kuno yang masih dilakukan hingga saat ini. Pada proses pelaksanaan
panjang jimat yang di laksanakan pada puncak (pelal) Maulid Nabi telah banyak
perubahan yang dilakukan demi penyesuaian antara tradisi lama dengan keadaan
massyarakat yang melaksanakannya pada saat ini. Makalah ini membahas tentang
kraton di masa kini. Dalam Makalah ini ditunjukkan sebuah proses adaptasi yang
dilakukan oleh kraton terhadap keadaan sosial dan kebudayaan yang telah berubah
dari kondisi awalnya. Pembahasan mengenai hal ini akan dilihat secara spesifik
pad penyelenggaman kegiatan Upacara Panjang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon
Jawa Barat, sebagai teknik utama pengumpulan datanya. Makalah ini berusaha
membahas informasi mengenai keadaan obyektif kraton pada saat ini, baik
mengenai sisi materialnya maupun aktivitas-aktivitasnya yang kemudian
dihubungkan dengan keadaan lingkungan sosial, agama, antropologi, filsafat,
ekomomi, geografi, politik, sejarah dan kebudayaan di sekitarnya yang telah dan
sedang berubah. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perubahan sosial dan
kebudayaan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan Cirebon telah
mempengaruhi situasi dan kondisi Keraton Kasepuhan. Perubahan sosial dan
kebudayaan tersebut, di antaranya, telah mempengaruhi keseragaman tata cara
hidup tradisional. Keraton sebagai institusi yang terlahir dari tradisi lamapun
tidak luput dari pengaruh perubahan tersebut. Sebagai contoh pada tradisi
Panjang Jimat yang mengalami banyak perubahan dari dahulu hingga saat ini.
BAB II
ISI
Keraton Kesepuhan dan
Tradisi Panjang jimatnya
Sebelum membahas mengenai tradisi panjang jimat yang
ada di keraton kesepuhan, sebaiknya kita membahas terlebih dahulu hal-hal mengenai
wilayah asalmuasal cirebon dan keraton kesepuhan sebagai salah satu tempat yang
akan dilaksanakannya tradisi panjang jimat di cirebon jawa barat.
Secara geografis, Cirebon terletak di pesisir utara
Jawa. Lokasinya yang strategis, serta memiliki muara-muara sungai, berperan
penting bagi pertumbuhan Cirebon menjadi pelabuhan. Sebagai tempat untuk
menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan yang bersifat regional maupun
internasional. Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak
zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha, seperti diketahui
dari sumber-sumber lokal seperti babad dan carita, yang juga didukung oleh
berita asing.
Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari,
menceritakan bahwa Cirebon dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah oleh
seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah
oleh kuwu. Pelabuhan awal ialah Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh
Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Kini, yang
menjadi kepala/juru labuhannya ialah Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian Kio Gedeng
Tapa yang berganti lagi Ki Gedeng Jumjanjati. Waktu itu, konon Kerajaan Sunda
Pajajaran yang beribukota di Pakuan, diperintah oleh Prabu Siliwangi yang
setiap tahunnya menerima upeti berupa garam dan terasi (uyah kalawan terasi),
sebagai hasil daerah Cirebon.
Dukuh Pasambangan, dengan pelabuhan Muara Amparan
Jati, sudah mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari beberapa daerah di
Indonesia seperti dari Pase, Palembang, Jawa Timur, Madura, juga beberapa
pedagang negeri asing seperti Arab, Parsi (Iran), Irak, India, China, Malaka,
Tumasik, dan Campa. Itulah sebabnya Dukuh Pasambangan menjadi ramai dan banyak
penduduk yang hidupnya menjadi makmur.
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, diceritakan bahwa
Dukuh Pasambangan kedatangan guru-guru agama Islam dari Mekkah dan Campa,
antara lain Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik, ulama terkenal di Campa
yang medirikan pondok di Quro, Karawang, yang kemudian terkenal dengan nama Syekh
Quro. Juru labuhan, Ki Gedeng Tapa, menyuruh putrinya, Nyai Subanglarang,
berguru agama Islam di Pondok Quro, yang akhirnya menjadi istri Syekh
Hasanuddin atau Syekh Quro.
Diceritakan pula saat juru labuhan Ki Gedeng
Jumajanjati, Dukuh Pasambangan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Idhofi
atau Nuruljati dari Kerajaan Parsi yang waktu itu beribukota di Baghdad. Syekh
Datuk Kahfi sebagai utusan dari Persia, disertai oleh dua puluh orang pria dan
dua orang Wanita. Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan
oleh Ki Gedeng Jumajanjati.
Pada waktu itu kapal China, di bawah Panglima bernama
Wai Ping dan Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya yang berjumlah banyak,
singgah di Pasambangan dalam perjalanannya ke Majapahit. Oleh juru labuhan,
mereka diterima baik dan selama di dukuh itu mereka membuat menara api di atas
Bukit Amparan Jati. Sebagai imbalan, oleh juru labuhan Ki Gedeng Jumajanjati
yang berkedudukan sebagai mangkubumi, mereka diberikan hadiah berupa garam,
terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati.
Walang Sungsang (Cakrabuwana) bersama istrinya yang
bernama Endang Ayu, dan adiknya, Nyai Lara Santang, oleh Ki Gedeng Jumajanjati
disuruh berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang mendirikan pondok di sebelah
Bukit Amparan Jati. Setelah berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, Walang Sungsang
mendapat julukan Samdullah atau Cakrabumi. Atas petunjuk gurunya, Samdullah
pergi ke Dukuh Kebon Pasisir, mendirikan gedung dan tajug serta pembangunan
sarana dan prasarana lainnya. Sehingga, tempat yang semula dinamakan Tegal
Alang-alang itu, menjadi desa dengan kepala yang disebut kuwu. Tempat itu
kemudian dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Karena itu, para pedagang yang
biasanya mengunjungi pelabuhan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, pindah ke pelabuhan
Caruban, sehingga lambat laun desa itu tumbuh menjadi sebuah perkotaan,
terutama setelah menjadi kesultanan.
Dalam sumber-sumber lokal, baik Babad Cirebon maupun
Carita Purwaka Caruban Nagari, diceritakan tentang kepergian Pangeran
Cakrabuwana atau Cakrabumi dengan adiknya, Nyai Lara Santang, untuk menunaikan
ibadah haji atas saran Syekh Datuk Kahfi, setelah mereka berdua tinggal selama
sembilan bulan di Kebon Pesisir atau Caruban. Mereka melaksanakan ibadah haji
selama dua tahun. Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuwana mendapat
gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman. Sedangkan Nyai Lara Santang diberi
gelar Syarifah Mudha’im. Diceritakan bahwa Syarifah Mudha’im dinikahi oleh
Syarif Abdullah dari negeri Mesir yang kemudian melahirkan seorang putra
bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M.
Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa
menyusul ibunya dan uwaknya, Syekh Duliman yang telah menjadi kuwu Cirebon.
Kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon terjadi tahun 1470 M. Setelah menikah
dengan putri uwaknya, Nyai Pakungwati, ia diangkat menjadi kuwu Cirebon
menggantikan uwaknya, Pangeran Cakrabumi atau Syekh Duliman (Abdullah Iman),
tahun 1479. Sejak itu pula Syarif Hidayatullah mendapat gelar Sinuhun Carbon.
Karena itu, dari segi struktur pemerintahan, Cirebon sudah boleh disebut awal
kesultanan sesuai dengan proses pelepasan dari kerajaan bercorak Hindu-Budha,
Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Dalam sumber lokal dikatakan
bahwa, sejak pemerintahan Sinuhun Carbon yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung
Jati, pajak garam dan terasi (bulu bekti uyah kalawan terasi) dari Cirebon yang
biasanya dibaktikan kepada Raja di Pakuan, dihentikan sama sekali.
Daerah Cirebon pernah menjadi bawahan Kerajaan Sunda
Pajajaran. Hal itu bukan hanya diceritakan dalam babad atau cerita
sastra-sejarah lokal, tetapi juga dibuktikan oleh berita asing, antara lain
oleh Tome Pires dalam berita perjalanannya, Suma Oriental (1512-1515), yang
sekitar tahun 1513 singgah di kota Cirebon yang ia sebut Cherimon (Choroboam).
Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah Sunda, tetapi
kini masuk Jawa. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vassal Pate Rodim, Raja
Demak.
Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik. Banyak kapal
berlabuh di sana. Selain itu, terdapat tiga atau empat jung di sana. Cirebon
juga mempunyai banyak hasil bumi beras dan bahan makanan. Yang menarik
perhatian adalah, Tome Pires menyebutkan pelabuhan Cimanuk sebagai pelabuhan
keenam yang masuk ke dalam Kerajaan Sunda meskipun sudah banyak orang-orang
Muslim. Pelabuhan Cimanuk atau Indramayu merupakan batas Kerajaan Sunda.
Bukti arkeologis bahwa Cirebon sudah mengalami
pertumbuhan dan masuk wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran adalah, ditemukannya
sebuah prasasti batu dari Huludayeuh dekat sumber Cirebon yang aksara dan nama
rajanya serupa dengan tulisan dalam prasasti Batu-tulis Bogor.
Dari uraian di atas, jelas bahwa Cirebon, sebelum
menjadi kota pusat kesultanan, sudah mengalami pertumbuhan, yaitu sejak zaman
Kerajaan Sunda Pajajaran dengan pelabuhan pertama yang berada di Dukuh
Pasambangan dan kemudian pindah ke Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang (Lemah
Wungkuk) sampai menjadi desa Caruban yang lambat laun menjadi sebuah kota
pesisir yang mencapai perkembangannya sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati), putra Syarifah Mudha’im yang sebelumnya bernama Nyai Lara
(Rara) Santang.
Apabila pertumbuhan Cirebon sebelum menjadi kesultanan
sudah terjadi, maka sejak Syarif Hidayatullah memerintah sekitar 1479 M, sudah
dapat disebut Kesultanan Cirebon, meskipun dalam berbagai sumber naskah kuno,
waktu itu penguasa-penguasanya tidak digelari sultan, tetapi masih panembahan
atau pangeran. Pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon
baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan
Kanoman (sekitar tahun 1677), setelah kedua putra Panembahan Girilaya yang
pergi ke Mataram diselamatkan dari pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap
Mataram. Sekembalinya dari Banten, kedua putra panembaan itu, yakni Pangeran
Syamsuddin Martawijaya dan Pangeran Badruddin Kartawijaya, menjadi sultan sepuh
(Syamsuddin Martawijaya) dan sultan anom (Badruddin Kartawijaya).
Meskipun sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah
dikatakan sebagai masa Kesultanan Cirebon, tetapi kedatangan dan penyebaran
Islam di daerah itu sudah ada, sebagaimana dapat diketahui dari sumber-sumber
sejarah antara lain Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari. Berita
Tome Pires (1512-1515) menyebutkan bahwa, kira-kira 40 tahun lalu, di tempat
ini (Choroboam atau Cirebon), masih terjadi perbudakan. Waktu itu Raja Demak
mempunyai budak dari Gresik yang ditempatkannya sebagai kapten di Cirebon
dengan gelar Pate Choroboam (Cirebon), yakni kakek Pate Rodim dari Demak yang
sekarang menjadi raja.
Jika berita Tome Pires itu kita terima, dengan
kehadiran Islam di Cirebon lebih kurang 40 tahun lalu ketika Tome Pires singgah
di kota Cirebon (1513), maka jatuhnya lebih kurang tahun 1473. Tahun ini
setidaknya menunjukkan waktu kehadiran Syarif Hidayatullah tahun 1470 dan
mungkin sejak kehadiran Syekh Datuk Kahfi, Syeikh Abdullah Iman (Samadullah
atau Cakrabuwana) pada tahun-tahun sebelum 1470. Diberitakan Tome Pires bahwa,
pada waktu kehadiran Tome Pires di Cirebon, yang menjadi raja ialah Lebe Uca,
Vassal Pate Rodim, Raja Demak.
Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik sebagai tempat
singgah kapal-kapal. Di sana, ada tiga atau empat buah jung. Cirebon mempunyai
banyak beras dan bahan-bahan makanan dan memiliki sepuluh lanchara. Selain itu,
tapi tidak banyak diceritakan, Cirebon mempunyai penduduk sampai 1000 jiwa.
Pate Quider, salah seorang pemberontak di Upeh (Malaka) juga tinggal di
Cirebon. Di Cirebon ada lima atau enam pedagang-pedagang besar seperti Pate
Quedir, karena ia seorang pedagang yang berani dan ksatria. Nama Lebe Uca dan
Pate Quedir, sebagaimana disebut-sebut oleh Tome Pires, masih sukar untuk
diidentifikasikan dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber lokal.
Masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568),
merupakan masa perkembangan Kesultanan Cirebon. Pada masanya, bidang politik,
keagamaan, dan perdagangan, makin maju. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam
ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah,
yaitu Maulana Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa
kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang.
Setelah Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surosowan
dekat Muara Cibanten, Priangan Timur antara lain ke Kerajaan Galuh tahun 1528,
kemudian Talaga tahun 1530.
Penyebaran Islam ke daerah Babadan, Kuningan (Selatan
Cirebon), Indramayu, dan Karawang, terjadi dengan damai. Mungkin fenomena ini
bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk memperbesar posisinya di bidang perdagangan
dan pelayaran dengan cara menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber
penghasil komoditas perdagangan seperti beras dan kayu, serta sekaligus tempat
mensuplai barang-barang dari luar.
Penyebaran Islam ke arah barat, yaitu di sepanjang
pesisir utara Jawa bagian barat, juga erat kaitannya dengan politik Kesultanan
Demak. Di antara kedua kesultanan itu, sejak semula sudah ada hubungan
kekerabatan. Dari segi politik, penyebaran Islam di pesisir utara Jawa bagian
barat itu lebih jelas pada waktu Kesultanan Banten sudah berdiri. Penyerangan
ke pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran terjadi tahun 1527 oleh tentara
gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten. Penguasaan Islam tersebut jelas
membendung pengaruh Portugis yang sudah menduduki Malaka sejak tahun 1511.
Dengan demikian, perdagangan internasional dan regional dari daerah Maluku ke
pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa melalui Selat Sunda,
menjadikan kesultanan-kesultanan tersebut dapat leluasa untuk menyingkirkan
lalu lintas perdagangan melalui Selat Malaka yang sudah berada di tangan
kekuasaan Portugis.
Perdagangan internasional yang dilakukan
kesultanan-kesultanan dari dunia Melayu-Indonesia melalui Samudera-Hindia ke
negeri-negeri Timur Tengah, melalui Teluk Aden sampai ke Afrika Timur, selalu
mendapat rintangan dengan cara pencegatan di Lautan Hindia oleh kapal-kapal
Portugis. K.N Chaundhuri mengatakan, “Kedatangan Portugis di Benua India secara
tiba-tiba memang mengakhiri sistem pelayaran yang damai yang menandai kawasan
ini”. Meskipun demikian, di berbagai pelabuhan di sepanjang pesisir utara Jawa
seperti Gresik, Sedayu, Tuban, Jepara, Demak, termasuk Cirebon, Jayakarta, dan
Banten, terdapat kelompok-kelompok pedagang dari Arab dan Timur Tengah, India,
dan lainnya, di samping para pedagang China dan negeri-negeri di Asia Tenggara.
Cirebon dengan demikian makin tumbuh menjadi kota Muslim yang sejak kehadiran
Tome Pires (1513) penduduknya berjumlah sekitar 1000 orang. Lebih-lebih pada
masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang lebih kurang berusia
setengah abad, penduduk dan keramaian kota pusat pemerintahan Kesultanan
Cirebon, sudah lebih banyak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Trenggono, di
Kesultanan Demak dan Syarif Hidayatullah, terjadi perluasan politik dengan
adanya serangan terhadap kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu
Kalapa, pada 22 Juni 1527. Keberhasilan serangan tentara gabungan
Demak-Cirebon, dan kemudian Banten di bawah pimpinan panglimanya, Fadhillah
Khan (berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari), atau Faletehan (berdasarkan
berita Portugis De Barros) dalam merebut kekuasaan Kalapa dan mengusir armada
Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa, menyebabkan nama Kalapa diganti
menjadi Jayakarta oleh Fadhillah Khan.
Sementara itu, Hoessein Djajadiningrat menyamakan
Falatehan atau Tagaril (berita Portugis) dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati Mazdkurullah. Namun, menurut saya, pendapat Djajadiningrat perlu
dikritisi karena berdasarkan hasil temuan dari Carita Purwaka Caruban Nagari
susunan Pangeran Arya Cirebon (1720) ternyata yang berperan mengadakan serangan
ke Kalapa ialah Fadhillah Khan, seorang yang berasal dari Pase yang datang ke
Jepara, Demak, dan kemudian dijadikan menantu Pangeran Trenggono. Kemudian
Fadhillah Khan menjadi panglima untuk menyerang Kalapa dengan membawa tentara
gabungan Demak dan Cirebon yang berjumlah 1967 orang. Ketika tiba di Cirebon,
Fadhillah Khan diterima Syarif Hidayatullah dan mendapat restu karena dijadikan
menantu oleh Syarif Hidayatullah. Dari fakta tersebut kita dapat memisahkan
adanya dua tokoh Syarif Hidayatullah dan Fadhillah Khan. Karena itu,
kemungkinan besar Falatehan yang dimaksud berita Portugis itulah yang sama
dengan Fadhillah Khan.
Syarif Hidayatullah yang mendapat julukan Pandita Ratu
(ulama yang menjadi raja), adalah salah seorang dari Wali Sanga, lebih giat
menjalankan keagamaan dari pada bergerak di bidang politik. Pada masa serangan
Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono terhadap Pasuruan di Jawa Timur,
menurut berita Portugis, Tagaril dari Cirebon juga turut serta dalam serangan.
Setelah Pangeran Trenggono wafat tahun 1546, ia kembali. Tetapi menurut Carita
Purwaka Caruban Nagari, pada tahun 1552, Fadhillah ada di Cirebon mewakili
Susuhunan Gunung Jati. Setelah itu ia menjadi pengganti sementara sebelum
kemudian digantikan lagi oleh Pangeran Pasarean.
Setelah Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan Sunan
Gunung Jati wafat tahun 1568, putranya, yakni Pangeran Pasarean, menggantikan
ayahnya. Setelah itu, Kesultanan Cirebon diperintah oleh putra Pangeran
Pasarean, yaitu Panembahan Ratu (1546-1649), cucu Sunan Gunung Jati. Pada masa
ini terjalin hubungan antara Mataram dan Cirebon yang sebenarnya sudah terjadi
sejak pemerintahan Senapati Ing Alaga yang juga mempunyai pengaruh kekuasaan di
daerah Priangan Timur. Konon, sebuah cerita menggambarkan bahwa pada tahun
1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu pemimpin agama Cirebon,
Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi
kotanya. Waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon sebagai suatu pertahanan
militer di bagian barat Kerajaan Mataram (De Graaf dan Pigeaud, 1986:
144-1450). Panembahan Ratu mengalami pergolakan dengan munculnya kekuasaan
Belanda di Batavia dan dengan terjadinya peperangan antara Mataram dan Banten.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, Kesultanan
Cirebon masih menunjukkan kegiatannya dalam bidang perdagangan. Setelah
terjadinya serangan Mataram teradap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629, pihak
VOC tetap menaruh kecurigaan terhadap orang-orang Cirebon dan Mataram. Dalam
Daghregister tahun 1632, Belanda memberitakan bahwa sekitar tanggal 30 April,
ada empat atau lima ribu orang dari Mataram dan seribu orang dari Cirebon di
bawah pimpinan orang kaya Mattasary dikhawatirkan akan menuju Batavia.
Dikabarkan bahwa 50 kapal dari Cirebon dengan muatan beras, memasuki daerah
perairan sebelah timur Karawang. Pada tanggal 7 Mei 1632 datang juga
perahu-perahu dari Cirebon dan kapal Melayu yang membawa muatan gula dan
lain-lain, yang oleh pihak Belanda diduga menuju Batavia. Kemudian, tanggal 12
Mei 1632, datang kapal-kapal Melayu dengan muatan gula, minyak, dan lain-lain.
Kesibukan perdagangan Kesultanan Cirebon itu telah dicatat dalam Daghregister
tahun 1633 dan 1634, yang menjelaskan datangnya sejumlah komoditas perdagangan
berupa beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan sebagainya.
Setelah Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon dipimpin
oleh yakni Pangeran Girilaya. Hubungan antara Mataram dengan Cirebon makin
erat, karena seorang putri Susuhunan Amangkurat I menikah dengan Panembahan
Girilaya. Pertalian kekerabatan antara Kesultanan Mataram dengan Cirebon,
sebelumnya juga telah dilakukan antara saudara kakak perempuan Panembahan Ratu,
yaitu Ratu Sakluh dengan Sultan Agung yang melahirkan Susuhunan Amangkurat I.
Sikap Kesultanan Banten terhadap Kesultanan Cirebon tetap baik, karena sultan-sultan
Banten masih mengakui dan hormat kepada sultan-sultan Cirebon yang dipandang
sebagai leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, ayah Maulana Hasanuddin.
Ketika pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura,
Panembahan Girilaya minta kepada Pangeran Trunojoyo, agar kedua putra
Panembahan Girilaya diselamatkan. Ia kemudian dibawa ke Banten dan diberi gelar
sultan sekitar tahun 1677. Ketika itu, Pangeran Syamsuddin Martawijaya menjadi
Sultan Kasepuhan dan Pangeran Badruddin Kartawijaya menjadi Sultan Kanoman.
Lain halnya dengan Pangeran Wangsakerta, putra Panembahan Girilaya. Waktu kedua
saudaranya berada di Mataram dengan restu sultan Mataram, ia tetap ada di
Cirebon, mewakili ayahnya. Tetapi ia tidak memperoleh gelar sultan. Sejak masa
inilah mulai ada tanda-tanda keruntuhan Kesultanan Cirebon.
Bibit keruntuhan Kesultanan Cirebon dimulai ketika
kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Sultan Kasepuhan dan Sultan
Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan itu ditambah dengan ketidakpuasan
Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. Antara
Kesultanan Cirebon dan VOC, terjadi persahabatan melalui perjanjian-perjanjian
pada 7 Januari 1681 yang dilanjutkan dengan perjanjian tanggal 4 Desember 1685,
5 Desember 1688, 4 Agustus 1699, 17 Januari 1708, dan 18 Januari 1752.
Sejak perjanjian 7 Januari 1681, dinyatakan bahwa
gubernur jenderal dan Dewan Hindia, mengakui keberadaan ketiga raja di Cirebon.
Masing-masing berdiri sendiri, dan dari status vassal dan bawahan, mereka
menjadi rekan dan sahabat. Meskipun demikian, hal itu tetap merupakan
keuntungan bagi VOC untuk mencampuri urusan-urusan politik Kesultanan Cirebon
dan juga memonopoli perdagangan. Sejak adanya campur tangan politik di antara
sultan-sultan di Cirebon, bibit perselisihan yang ada, makin menjadi.
Tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekusaan. Selain
Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran
Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak
itu perdagangan internasional melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan
VOC. Untuk memudahkan monopoli perdagangan dan pengumpulan hasil-hasil
pertanian, terutama lada dari daerah Priangan Timur, Pangeran Arya Cirebon
diangkat menjadi pengawas para bupati di Priangan Timu pada tahun 1706,
sehingga hasil bumi dari daerah itu mudah dikumpulkan untuk dibawa ke Cirebon
demi kepentingan VOC. Pengangkatan Pangeran Arya bertujuan agar kedudukannya
menjadi terpandang, meskipun ia tidak bergelar Sultan. Sejak awal abad ke-18,
Kesultanan Cirebon, baik di bidang politik maupun ekonomi-perdagangan,
mengalami keruntuhan karena dikendalikan VOC yang berlanjut hingga pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa pendudukan Jepang tahun 1942,
di mana sultan-sultan mendapat gaji dari pemerintah kolonial itu.
Salahsatu tradisi yang ada di keraton kesepuhan
cirebon yang masih trjaga hingga sekarang yakni tradisi panjang jimat, waktu
pelaksanaan pukul 19.30 WIB, tanggal 12 Rabiul awal
Upacara panjang jimat merupakan upacara adat keagamaan
yang diselenggarakan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengertian panjang berarti
sing siji kang dirumat (yang satu yang selalu di rawat yaitu dua kalimat
syahadat) maksud dilaksanakan upacara adalah memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW dan mengenang jasa-jasa beliau dalam menyiarkan agama Islam,
beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain pencucian perangkat piring tempat
menyimpan nasi Rosul, membuat sajian serta membuat perlengkapan upacara.
Menurut sejarahnya Panjang Jimat mempunyai sejarah khusus yaitu salah satu
benda pusaka Keraton Cirebon yang merupakan pemberian dari Sanghyang Bango
ketika masa pengembangan dari Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana I)
dalam mencari agama Islam. Panjang jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama
dilingkungan kerabat Keraton Kasepuhan.
Pada saat pelaksanaan upacara panjang jimat atau yang
biasa disebut pelal telah banyak memberikan pengaruh bagi masyarakat disekitar
keraton baikdari segi sosial, budaya, politik, bahkan ekonomi.
Di bidang ekonomi, masyarakat di sekitar keraton pada
umumnya berprofesi sebagai pedagang, apalagi pada saat menjelang pelaksanaan
pelal para pedagang sudang memenuhi jalan-jalan di sekitar keraton jauh-jauh
hari sekitar bulan mulud dan bakda mulud. Banyaknya pengunjung wisata asing
maupun lokal memberikan penghasilan tambahan dan keuntungan bagi para pedagang
yang merupakan penduduk asli wilayah keraton cirebon.
Tradisi panjang jimat menjadi daya tarik warga lokal
maupun luar cirebon yang ingin melihat langsung pelaksanaan tradisi tersebut,
sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi panjang jimat menjadi tradisi pertemuan
seluruh warga pecinta budaya setiap tahunnya. Sehingga hubungan sosialpun
semakin erat. Kentalnya tradisi yang ada di keraton membuat kpribadian dan watak
masyarakat keraton sangat berbeda dari masyarakat yang jauh dari lingkungan
keraton. Masyarakat keraton lebih mempunyai sifat yang tegas dikarenakan pola
fikir mereka terbiasa dengan hal-hal yang tetap tak berubah dan konsisten.
Tidak hanya masyarakat biasa yang menyaksikan proses
upacara adat panjang jimat, tetapi banyak juga petinggi-petinggi daerah yang
ikut hadir menyaksikan proses upacara tersebut.
Puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1432
H di Keraton Kasepuhan ditandai dengan dilaksanakan Panjang Jimat atau yang
biasa disebut Pelal. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan Panjang
Jimat dihadiri oleh ribuan warga yang datang dari beberapa daerah di sekitar
Cirebon.
Proses Panjang Jimat tahun ini merupakan yang pertama
dipimpin oleh Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat SE sejak menggantikan
almarhum Sultan Sepuh XIII Maulana.
Hadir Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat H
Ahmad Mubarok, Wakil Gubernur Jawa Barat H Dede Yusuf, Kepala Badan Koordinasi
Pemerintahan dan Pembangunan wilayah III Jawa Barat, Drs H Ano Sutrisno MM,
serta tamu undangan.
Sebelum proses Panjang Jimat dimulai, Sultan Sepuh
XIV, PRA Arief Natadiningrat SE mengatakan mengatakan prosesi Panjang Jimat merupakan refleksi dari
proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan puncak acara kegiatan
peringatan maulid nabi.
“Panjang berarti pada masa yang lama dan Jimat berarti
satu yang harus diruwat atau dihormati yakni syahadat. Sehingga arti dari
Panjang Jimat adalah sederetan kegiatan pada masa yang lama dan terus menerus
dilaksanakan yakni menyongsong kelahiran nabi dengan mengumandangkan syahadat,”
jelas dia.
Sultan mengungkapkan melalui prosesi Panjang Jimat
diharapkan masyarakat bisa berkontemplasi dan evaluasi atas perjalanan panjang
yang telah dilalui apakah masih mengumandang teguh syahadat. Sehingga dalam
akidah yang lurus, kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir tidak bisa
diubah-ubah lagi dan akidah Islam tidak bisa dipermainkan. “Namun kita tidak mengendaki tindakan anarkisme yang
mengatasnamakan agama,” ungkap dia.
Sultan yang juga mantan anggota DPD RI ini dalam
sambutannya ingin mengimbau dan berpesan bahwa Nabi Muhammad SAW sesuai
pemahaman akidah Islam yang lurus adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi
setelah Nabi Muhammad SAW. “Dan bila ada yang mengakui adanya nabi setalah
Muhammad, maka harus diluruskan,” tegas Arief.
Sementara, Wakil Gubernur Jawa Barat, H Dede Yusuf
mengakui bahwa kegiatan Panjang Jimat yang diselenggaran oleh Keraton Kasepuhan
bagus dan harus tetap dipelihara. “Proses Panjang Jimat merupakan sarana
penyebaran agama Islam melalui pragmen dan tetap harus dilestarikan seperti
sekarang ini,” tutur dia.
Saat ditanya tentang kepedulian Pemprov Jawa Barat
terhadap keberadaan keraton di Cirebon, kader PAN ini mengaku selama ini
pemprov selalu memperhatikan. Bahkan bantuan terus disalurkan setiap tahun.
“Namun yang harus lebih memperhatikan dan melestarikan keberadaan
keraton-keraton adalah pemerintah daerah setempat,” tandas Dede.
0 komentar:
Posting Komentar